Posts

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman Berlin (13/04/18). Petuah Shakespeare yg mengerdilkan apalah arti sebuah nama dapat kita maklumi karena pada jamannya, menyebut nama seseorang terlebih figur yg terpandang harus lengkap dengan deretan gelar kehormatan, kebangsawanan dan pelabelan lainnya yg menunjukkan status sosial seseorang. Namun gelar itu bagi sastrawan Inggris tsb tidak menunjukkan hubungan yg linier dengan personality, sikap dan integritas penyandangnya. Harapannya masyarakat lebih melihat dgn kasat mata atas kiprah seseorang di dalam relasi sosial dan aktivitas kesehariannya daripada embel-embel nama tsb. Ketika kehidupan sosial semakin demokratis dan egaliter, secara alamiah penyebutan gelar dan julukan yg menyanjung seseorang semakin berkurang. Kini penyebutan gelar umumnya hanya pada saat upacara adat dan capaian akademis seseorang. Bahkan gelar akademik pun sudah perlahan menghilang di dalam surat-surat kedinasan instansi pemerintah. Namun ada budaya yg cukup me

Kompromi dengan Minat Anak

Kompromi dengan Minat Anak Berlin, 05/04/18. Rasanya jamak ya para bapak yg punya anak perempuan pengen agar anaknya bisa bermain piano. Demikian juga aku. Sadar punya 2 anak perempuan dan pengen mereka pintar bermain piano maka aku prioritaskan tabunganku untuk membeli piano sejak mereka masih balita. Bahkan sempat membawa anak yg sulung ke tempat kursus piano di Kota  Solo (saat berdomisili) yg nama tempat kursusnya merupakan franchising sekolah musik dari Jakarta padahal saat itu belum punya piano. Karena harga piano yg sangat mahal, aku berpikir lebih baik kursus piano dahulu aja dan bila anak berbakat, baru membeli piano. Ketika mendaftar, guru piano melihat jari tangan anak sulungku yg masih kecil, ringkih dan lemah. Secara halus sang guru menolak untuk mengajar dan menganjurkan mendaftar tahun berikutnya setelah jari tangannya dipandang lebih besar dan kuat. Prasyarat ini penting agar jarinya lebih lentur dan punya jangkauan yg lebih lebar untuk membuat kunci nada dan lebih k

Mematut Diri

Mematut Diri Jakarta, 10 April 2018. Dahulu, siapa yg merasa pantas dan patut serta direstui pimpinan maka diberikanlah dia kesempatan dan amanah menduduki suatu jabatan. Karir dan merit sistem acap kali belum selaras walaupun kebijakannya adalah perpaduan antara kedua sistem tsb.  Lamanya jenjang karir lebih menjadi pertimbangan dibandingkan merit atau kompetensi seorang birokrat. Toh para staf akan bisa menopang kelemahan pejabat yg dipromosan bila factor karir semata yg menjadi bahan pertimbangan. Seiring dengan roadmap reformasi birokrasi pemerintah, perlahan dan pasti sistem recruiting dan appointee suatu jabatan pun semakin ketat melalui proses seleksi. Tidak hanya penjenjangan karir sbg syarat administratif yg harus dipenuhi tapi uji kompetensi pun dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga secara independen meliputi profile assessment, interview, membuat makalah dan ujian tertulis.  Walaupun belum sempurna tapi proses ke arah sistem recruiting yg bersih, terbuka,

Menggugat (umat) Tuhan

Menggugat (umat) Tuhan Jakarta, 07 April 2018. Mungkin ada yg bertanya dalam hati kenapa berani-beraninya aku membuat judul dan tulisan yg nantinya akan menimbulkan kontroversi. Bukankah sangat sensitif membicarakan isu yg bersinggungan dengan Tuhan dan umatNya. Urusannya akan panjang bila ada yg merasa dinistakan keimanannya? Pilihannya; bersiap-siaplah berhadapan dengan hukum dan menjadi pesakitan di depan hakim atau urungkan segera niatmu membuat tulisan yg bakalan bisa membuat hidupmu nelongso. Permohonan maaf dengan sedu sedanmu itu nanti tidaklah cukup mengobati hati yg terluka walau dgn ketulusan yg mendalam. Seandainya dikabulkan permohonan maafmu pun belumlah cukup menyudahi prahara ini karena telah tercederainya hak konstitusional mereka akibat ulahmu itu. Ingat, perbuatan pidana punya ranah hukum besi penyelesaiannya tersendiri yg berujung pada ketokan palu sang mulia tuan hakim atas kealpaanmu dengan irahnya Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Kualitas atau Popularitas:Renungan Blogger Pemula

Kualitas atau Popularitas: Renungan Blogger Pemula  Berlin, 01/04/18. Seorang penulis pemula, saat mulai berani mempublish tulisannya, biasanya diawali dengan menggunakan media yg terbatas yang hanya dibaca oleh teman-temannya. Di dalam dunia politik cara ini disebut test the water atau istilah dagangnya mengukur respon pasar. Demikian juga denganku, dan media terbatas tersebut adalah Face Book (FB) karena yg bisa membacanya adalah teman-temanku yg sdh di add. Awal memposting tulisan yg rada panjang dari sekedar status di FB, rasanya bercampur aduk. Sedikit deg degan, khawatir namun ada senangnya juga. Khawatir, karena penasaran apakah pasar akan menerimanya dengan baik, merespon alakadarnya atau malah membuat pembaca bertambah bingung. Mengukur respon pembaca atas sebuah tulisan khususnya di FB menurutku tidaklah mudah, terlebih dengan budaya ketimuran kita yg cenderung suka berbasa-basi. Senangnya adalah saat memposting tulisan di FB seperti sedang proses pembuangan

PPKI Milenial

PPKI Milenial Berlin, 25/02/18. Tahun 2018 ini dipandang sebagai tahun politik karena negara kita akan mengadakan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Berkaca pada pilkada DKI tahun lalu, yg hanya memilih guna menentukan 1 pasangan kepala daerah saja telah membuat masyarakat kita terbelah.  Isu SARA apakah by design atau tidak berseliweran di lini masa. Media massa ada yg tetap menjaga kenetralannya namun tidak sedikit yg bias. Setiap warga apakah itu warga DKI atau luar DKI yg nyata-nyata tidak mempunyai hak pilih juga turut ambil bagian menjelma sebagai reporter reshare berita di medsos yang kerap tidak tahu lagi apakah valid atau hoax.  Sepanjang isi berita mampu menyenangkan syahwat afiliasi politiknya maka masa bodo itu patut, saru atau kebablasan. Yang penting bila sudah memposting berita maka tunailah sudah kewajiban membela identitas keagamaannya. Membela agama adalah suatu kewajiban suci katanya.  Tweetwar dan postingwar di medsos merupakan ladang ibadah b