PPKI Milenial

PPKI Milenial

Berlin, 25/02/18. Tahun 2018 ini dipandang sebagai tahun politik karena negara kita akan mengadakan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Berkaca pada pilkada DKI tahun lalu, yg hanya memilih guna menentukan 1 pasangan kepala daerah saja telah membuat masyarakat kita terbelah. 

Isu SARA apakah by design atau tidak berseliweran di lini masa. Media massa ada yg tetap menjaga kenetralannya namun tidak sedikit yg bias. Setiap warga apakah itu warga DKI atau luar DKI yg nyata-nyata tidak mempunyai hak pilih juga turut ambil bagian menjelma sebagai reporter reshare berita di medsos yang kerap tidak tahu lagi apakah valid atau hoax. 

Sepanjang isi berita mampu menyenangkan syahwat afiliasi politiknya maka masa bodo itu patut, saru atau kebablasan.
Yang penting bila sudah memposting berita maka tunailah sudah kewajiban membela identitas keagamaannya. Membela agama adalah suatu kewajiban suci katanya. 

Tweetwar dan postingwar di medsos merupakan ladang ibadah baru jika tidak ingin disebut kaum bigot. Pertemanan banyak yg buyar, persaudaraan menjadi renggang, whatsapp group banyak yg tamat atau setidaknya sebagian membernya left. 

Ada yg mohon pamit baik-baik karena sudah merasa tidak nyaman dgn obrolan yg tak tentu arah. Ada yg sebelum pamit ngamuk-ngamuk dahulu kemudian left hilang ditelan jaman dan ada pula yang tiba-tiba left silently tanpa kabar berita.

Apakah setelah berlalunya pilkada, mereka kembali rukun?

Rasanya masyarakat kita belum sedewasa itu menyikapi perbedaan pandangan politik dan menganggap kontestasi tersebut ibarat suatu permainan yg bila pluit wasit bertiup maka usai sudahlah pertandingan. 

Pemain yg kalah dan menang saling salaman dan berangkulan. Bila yg kalah tidak puas masih terbuka kesempatan lain membalas kekalahannya pada bigmatch berikutnya. Biarkanlah yg menang menikmati kemenangannya sembari diingatkan janji kampanyenya kepada warga.

Demikian juga penonton dan supporter. Cukup ratapi kekalahan tsb dengan memegang kepala dan menutup muka dengan kedua belah tangan sembari membiarkan pihak yg menang merayakan kemenangannya dengan elegan.

Aku tidak tahu, apakah kerasnya pilkada DKI karena pemilihan tsb berada disekitar epicentrum kekuasaan atau karena isu SARA memang selalu mainan empuk para politisi untuk mendulang suara. 

Coba bayangkan bagaimana kalau pilkada serentak diberbagai daerah ditiupkan isu SARA. Rasanya rada mengerikan dan bisa mengancam keutuhan kita sebagai negara bangsa. 

Harapanku mudah2an para pemimpin politik sadar utk tidak sekali-kali menggunakan isu tsb hanya demi kepentingan jangka pendek.
Tapi apakah kita hanya sekedar mengharapkan kesadaran mereka? 

Apakah para politisi tsb bisa bersikap sebagai negarawan yang memandang kemenangan bukanlah segala-galanya? 

Rasanya terlalu naif jika kita berpangku tangan menyerahkan nasib keutuhan kebangsaan ini kepada mereka. Elemen rakyat lainnya harus bergerak untuk bersama-sama mengantisipasi segala kemungkinan adanya komprador dan petualang politik tsb.

Kerawanan tsb ternyata juga dirasakan oleh para tokoh pemuda dari beberapa organisasi kemasyarakatan di Berlin. Mereka berpandangan, warga masyarakat Indonesia di Jerman harus diberikan pemahaman bagaimana mengidentifikasi, menyaring, memilah dan menangkal berita yg bertebaran di dunia maya. 

Bagaimana menyikapi berita hoax khususnya yg berasal dari dalam negeri yang bisa mengusik kerukunan dan keharmonisan warga Indonesia yang berdiam di Berlin dan Jerman?

Untuk itulah 5 tokoh pemuda yang berasal dari 3 organisasi kemasyarakatan pada sabtu pagi ini berkumpul sembari sarapan pagi di sebuah restoran Turki daerah Müllerstrasse Berlin. 

Mereka masing-masing adalah pimpinan cabang Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia (KMKI), Pimpinan Cabang Internasional Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Cabang Internasional Muhammadiyah di kota Berlin Jerman.

Mereka berencana mengadakan seminar berupa dialog kebangsaan dan workshop di Berlin dengan mengundang narasumber dari Indonesia yang dipandang kompeten meng adress berbagai isu di atas.

Aku yang berteman baik dengan ketiga pimpinan ormas ini merasa sangat terhormat diajak serta turut berdiskusi merancang kegiatan tersebut. Aku merasa seperti mendapatkan asupan nutrisi kebangsaan berbincang dengan mereka.

Pertemuan ini membuka memoriku saat masa SMP dahulu belajar mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yg berkisah tentang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1945 yang jumlah anggotanya 9 (sembilan) orang yang berasal dari unsur Nasionalis, NU, Muhammadiyah dan Katolik dan dari berbagai suku bangsa.

72 tahun berlalu dan kini unsur-unsur PPKI tersebut masih bisa berkumpul dengan guyub nun jauh di salah satu negeri di Eropa. Kalau dahulu anggota PPKI berkumpul berdiskusi menyiapkan salah satunya adalah nilai kebangsaan Indonesia, kini para cucu ideologisnya merancang kegiatan untuk memelihara nilai kebangsaan itu. 

Maka tidak berlebihanlah kalau aku menyebut mereka sebagai Panitia Pemelihara nilai Kebangsaan Indonesia di abad milenial atau disingkat PPKI Milenial.

Agar acara seminar dan workshop tersebut tidak hanya sekedar upaya diseminasi penyikapan tapi juga menggali prespektif baru yg bisa dibagikan kepada masyarakat Indonesia di dalam negeri disepakati untuk mencari narasumber tambahan yaitu pakar yang berasal dari Jerman. 

Barangkali kita bisa belajar dan mengambil lesson learn bagaimana pengalaman Jerman mengelola permasalahan serupa.

http://catatanhermansyahsiregar.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kentut Gua Merdu Gak ya?

Kompromi dengan Minat Anak