Kualitas atau Popularitas:Renungan Blogger Pemula

Kualitas atau Popularitas: Renungan Blogger Pemula 

Berlin, 01/04/18. Seorang penulis pemula, saat mulai berani mempublish tulisannya, biasanya diawali dengan menggunakan media yg terbatas yang hanya dibaca oleh teman-temannya. Di dalam dunia politik cara ini disebut test the water atau istilah dagangnya mengukur respon pasar. Demikian juga denganku, dan media terbatas tersebut adalah Face Book (FB) karena yg bisa membacanya adalah teman-temanku yg sdh di add.

Awal memposting tulisan yg rada panjang dari sekedar status di FB, rasanya bercampur aduk. Sedikit deg degan, khawatir namun ada senangnya juga. Khawatir, karena penasaran apakah pasar akan menerimanya dengan baik, merespon alakadarnya atau malah membuat pembaca bertambah bingung.

Mengukur respon pembaca atas sebuah tulisan khususnya di FB menurutku tidaklah mudah, terlebih dengan budaya ketimuran kita yg cenderung suka berbasa-basi.

Senangnya adalah saat memposting tulisan di FB seperti sedang proses pembuangan hajat (maaf). Saat tulisan sudah selesai dibuat dan siap untuk diposting dengan mulai memencet tombol post, pointer layar monitor hp berjalan dari kiri ke kanan menunjukkan persentase uploading data dari 0% hungga 100%.

Menyaksikan jalannya loading persentase tsb seperti sedang mengalami suasana ngeden (lagi-lagi maaf) karena telah berhari-hari menahannya dan saatnya melepaskan keluar dan terasa plong ... uploadingpun dinyatakan finished.

Selanjutnya, tibalah saat yg mendebarkan. Bagaimanakah respon teman-teman sesaat setelah membaca uploading tsb? Impressi pertama ini cukup menentukan karena spt kata iklan deodorant; kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda.

Respon jauh hari setelah posting terkadang rada bias karena bisa saja ada faktor lain yg mempengaruhi pembaca. Mungkin sedang kesengsem atau lagi kangen sama penulis he..he ...

Setelah happening art event selesai, biasanya aku membaca kembali dan mereview tulisan tsb. Dari beberapa tema tulisan, terdapat kecenderungan pembaca lebih banyak merespon tulisan ringan dan lucu daripada yg berat dan berbau politik.

Barangkali teman-teman FB ku sudah capek dan lelah bekerja seharian dan rada bosan dengan berita politik Indonesia yg seperti dagelan. Terlebih semakin banyaknya para penggiat medsos yg sudah terjangkit gejala penyakit "Post Truth" khususnya dalam merespon isu politics yg berbau SARA.

Untuk mengetahui minat pembaca atas suatu posting tulisan, aku mengklasifikasi respon tsb dalam 5 kategori indikasi.

Kategori pertama, pembaca yg apresiatif. Indikasinya adalah memberikan mention atau komentar dengan mencuplik isi tulisan. Pembaca seperti ini biasanya sedang punya waktu luang dan tertarik dengan judul dan ingin tahu arah dan kedalaman tulisan.

Yang kedua, pembaca yg bijaksana. Indikasinya adalah membaca judul dan paragraf pertama tulisan (tanpa membaca isinya lebih lanjut) dan memberikan tanda like, love atau smile serta komentar singkat berupa pujian. Pembaca seperti ini adalah tipikal orang yg sibuk namun berhati baik. Mereka sangat menghargai artinya usaha dan persahabatan dan mensupport temannya yg sedang mencoba berkarya. Coba terus jangan putus asa, mungkin seperti itulah yg ada dalam benak mereka.

Kategori ketiga adalah pembaca yg baik hati. Indikasinya adalah membaca hanya judul, melihat picture dan membubuhkan tanda emoji like, love dan smile tanpa berkomentar apapun untuk menjaga tali silaturahmi dengan harapan ketika mereka memposting juga akan di klik dgn emoji yg sama.

Yang keempat, adalah pembaca yg pengertian. Tidak ada indikasi namun terlanjur membaca judul tulisan dan picture saat membuka atau menscroll timeline FB. Tidak mengklik emoji apalagi berkomentar tapi tahu temannya lagi mencoba suatu peruntungan dengan hobbynya yg baru. Teman ini tidak ingin bersikap yg menimbulkan prasangka buruk oleh temannya yg baru belajar menulis, apakah memang benar-benar memberikan apresiasi atau sekedar basa basi. Bukankah berprasangka buruk (suuzhon) akan menimbulkan dosa.

Yang kelima adalah pembaca yg diam atau silent readers. Tidak ada indikasi sama sekali namun membaca judul dan tulisan secara utuh dari paragraf pembuka hungga penutup. Tidak memberikan emoji dan ulasan komentar apapun. Pembaca seperti ini sangat sulit ditebak isi hati dan pikirannya. Apakah seorang penggemar setia tapi pemalu atau sebagai haters yg dalam hati kecilnya ternyata menyimpan rasa kagum (ge er he hehe ..).

Kelemahan aplikasi FB bagi penulis adalah tdk adanya notifikasi memberikan tanda berapa banyak jumlah pembaca suatu postingan sehingga sulit mengindentifikasi silent readers kecuali postingan video.

Blogger Pemula

Rasa penasaran pengen tahu jumlah pembaca membuatku memberanikan diri menggunakan platform media sosial yg lebih luas yaitu personal blog seiring semakin banyaknya kumpulan tulisan pendek yg dibuat.

Kabarnya di dalam aplikasi blog terdapat sajian data statistik berapa jumlah pembaca diam termasuk emoji dan kolom komentar seperti FB dan yg juga penting semua tulisan dapat dikumpulkan dalam suatu folder aplikasi (tidak bercampur dgn postingan status spt di FB).

Dengan dibantu teman (maklum faktor u), akupun membuat personal blog pada aplikasi blogspot dengan alamat sbb:

http://catatanhermansyahsiregar.blogspot.com

dan kini menjelmalah sipenulis pemula tadi menjadi seorang blogger pemula. Wuah kedengarannya keren ya..menjadi blogger. Bagi aku yg kids jaman old, menyandang gelar baru sebagai blogger rasanya keren banget walaupun sadar diri kualitas tulisanku masih underrated.

Sesudah berjalan sekitar 6 bulanan dengan menggunakan 2 platform aplikasi medsos FB dan personal blog, kelihatannya terjadi gejala penurunan jumlah pembaca di FB namun sebaliknya terjadi peningkatan pembaca (viewers) di blog.

Mungkin pembaca FB pada suatu titik mengalami kejenuhan karena sudah memahami gaya tulisan, arah ulasan dan tema yg disajikan. Hal ini aku maklumi karena memang selalu menulis dengan tema yg sama berdimensi humaniora, keberagaman, traveling dan kuliner.

Secara sadar sbg penulis, aku berupaya menempatkan diri berada pada posisi yg tdk berhadapan sebagai opponent terhadap pihak lain.

Sparring partner

Sikap seperti itu menurutku suatu saat akan menemukan fase kehabisan resources dan inspirasi karena minimnya sparring partner. Tulisan di medsos yg cenderung mencari likers sebanyak-banyaknya disatu sisi memang menyenangkan dan tanpa beban. Menambah teman dan meningkatkan tali silaturahmi namun akan mengurangi energi utk menggali ide dan tema baru serta kurang kuatnya ketajaman analisa karena tiadanya sparring partners dalam hal ini adalah penulis opponent yg juga bersikap sbg haters.

Kok bisa ... ??
Ya .. karena dalam dimensi tertentu, kehadiran penulis opponent menurutku tetap punya manfaat bagi penulis. Ia adalah lawan tanding yg bisa setimpal atau lebih jago dari kita yg bisa memotivasi agar mau berlatih keras dan lebih keras lagi. Sehebat-hebatnya Mohammad Ali sang petinju, tetap dia membutuhkan lawan tanding utk menjaga stamina dan meningkatkan performancenya.

Namun ada juga penulis opponent yg berada di bawah level kita walaupun demikian mereka yg seperti ini tetap berguna karena bisa membuat kita tersenyum geli bahkan tertawa ngakak.

Cerita yg bersifat naratif tidak menimbulkan suatu bentuk penyikapan dan determinasi menempatkan dua kutub (bipolar) berlawanan secara ekstrim. Memuja atau mencela, memuji atau mencaci, mengagumi atau mengasihani, menyerang atau membela, merangkul atau memukul.

Ketika zonasinya berkumpul di tengah maka komunitas penikmatnyapun akan stagnan dan cenderung menurun karena bandul pendulum semakin lama semakin lambat bergerak dan suatu saat akan berhenti.

Contoh kontemporer hilangnya sparring partner utama yg mengurangi semangat menulis ~ setidaknya menurutku ~ adalah activis medsos DS. Dengan keadaan JR yg saat ini sedang menghadapi masalah hukum, DS sepertinya menjadi kehilangan gairah menulis karena lawan tanding yg kepiawaian menulisnya setara dgnnya telah sepi bahkan hilang posting tulisannya.

Kini DS seperti petinju yg latihan sendiri, skipping kiri dan kanan, maju mundur sambil sesekali memukul angin. Kalau pukulan yg diluncurkan terlalu keras bisa goyah dan sempoyongan sendiri.

Saat ini tulisan DS rasanya semakin datar dan terkadang hanya men share sebuah link berita dan berkomentar tidak sampai 1 paragraph. Share dan komentari link berita merupakan suatu tindakan yg absurd bagi DS dahulu, karena positioningnya adalah seorang penggiat medsos dengan tulisan pendek yg menarik, lugas, informatif, lincah mencubit dan menggelitik.

Bagaimana dengan haters kedua penulis tsb? Nah ..ini yg menarik. Sejak pilpres dan berlanjut dengan pilkada DKI, warga pemilih menjadi terbelah bahkan masih ada yg berlanjut setelah pemilihan berlalu. Masing-masing para pendukung terus melanjutkan sikap berhadap-hadapan khususnya di media sosial dan sebagai penjurunya adalah para penulis handal activis medsos.

Aku tidak tahu apakah penulis tsb muncul by design atau secara alami. Namun dengan kehadiran mereka, dunia alam gaib semakin ramai dan menciptakan para likers bejibun yg dapat bersikap dan bertindak seperti ninja kesatria bayangan. 

Semakin banyak likers disatu pihak pada hakikatnya semakin banyak juga tercipta haters dipihak lain begitu pula sebaliknya. Eskalasi perang persepsi dan isu tentu akan semakin meningkat seiring dengan makin berjubelnya jumlah likers dan haters.

Selanjutnya, setelah JR masalah hukum, bagaimana dengan nasib likers nya? Apakah mati suri karena sudah gak ada lapak? Ada bbrp kemungkinan menurutku sbb:

Pertama; mengasihani nasib JR sembari mengecam penguasa atau penegak hukum.

Kedua; mengasihani nasib JR dan mencari figure penulis baru yg sesuai dgn positioning keberpihakannya dan tentunya semakin mengobarkan hatespeech terhadap pihak lawan.

Ketiga; menjelma menjadi penulis amatiran dgn lagak sekelas seperti JR tp rada hati-hati agar tidak bernasib sama dgn JR.

Keempat; menjadi pengamat media (activis medsos pasif) dan menshare berita yg sesuai dgn aspirasi dan keterbelahan sikapnya sebagai keberlanjutan dampak kontestasi pemilihan tadi.

Kelima; ramai-ramai masuk ke dalam lapak DS dan bergelut dengan para likersnya DS serta membully setiap postingan dan tulisan DS.

Nah..poin kelima ini yg paling menarik. Dengan berkumpulnya likers dan haters dalam 1 medan juang (lapak) yg sama, maka DS mendapatkan barokah epicentrum atensi yg luar biasa dijagad maya. Setiap postingan tulisannya langsung menjadi goro-goro dan trending topic.

Para likers dan haters segera menyambar dan bersahut-sahutan. Banyak yg membela, mendukung, memuji, mendoakan, mengagumi dan tak kalah banyak juga yg menunjukkan respon yg sebaliknya.

Walaupun DS sudah menurun kadar tulisannya, karena kehilangan sparring partner utama, namun lapak medsosnya malah semakin ramai.

Cukup dgn tulisan 1 paragraph bahkan hanya menshare link berita dgn panjang komentar 1 kalimat saja, dalam sekejap kolom komentar, emoji, reshare post dari para kurcaci riuh rendah.

Apakah kondisi ini cukup menarik bagi DS sebagai seorang penulis. Aku rasa hati kecilnya akan berkata lain. Banyaknya likers maupun haters yg juga sebenarnya sbg likers karena meramaikan lapak tulisannya bukanlah tujuan hakiki bagi seorang penulis tapi bagaimana agar dapat substansi tulisannya Menjadi inspirasi yg menggugah bahkan mengubah pemikiran dan perilaku pembaca.

Beyond Popularity

Selama kurang lebih 6 bulan memperluas jangkauan pembaca melalui platform bio blog ternyata views pembacanya cukup lumayan sebanyak 2,916 utk sekitar 60 tulisan.

Aku gak menyangka respon pasar lumayan bersambut. Gak kebayang rasanya sekian ribu pasang mata telah membaca tulisan pendekku. Senang tentunya walaupun sedikit emoji ataupun komentar yg termuat dlm blog tsb. 

Mudah-mudahan tulisanku bermanfaat bagi para pembaca. Kalau dalam dimensi agama, 1 ayat yg tersampaikan sudah menjadi ladang ibadah. Amin.

Namun kawan, ditengah kepuasan batin tsb, ada lagi teman yg menggoda, kenapa gak mencoba memperluas lebih jauh jangkauan pembaca tulisannya. Awalnya aku merasa enggan bukankah media bio blog tsb sudah dapat menjangkau semua pembaca. Setiap mengetik kata kunci search engine google, link personal blogku akan muncul otomatis dan tanpa biaya pula. Sudah cukuplah itu. Toh menulis di medsos hanyalah sebuah keisengan aja bagiku.

Tapi ajakan utk sign in ke dalam platform jurnalisme warga (citizen jurnalism) selalu menggodaku terlebih yg difasilitasi oleh media mainstream. Ada teman yg menyarankan dengan Kompasiana mengingat members nya yg sangat banyak (355,000) maupun pembacanya (sekitar 13 juta orang) dan tentunya dikelola oleh jaringan media massa terbesar di Indonesia.

Singkat cerita akhirnya aku pun mendaftar sebagai kompasianer dan mencoba menggunakan fasilitas platform blog dengan tagline beyond blogging ini sejak 5 hari lalu.

4 tulisan sudah kuposting dengan hari yg berbeda yaitu: Kota Batam Sebuah Retrospeksi, Kiblatnya para Gibol, Milano Kota 2 Scudetto, Bang Thoyib Plesiran ke Berlin.

Hasilnya sangat mencengangkan, setidaknya bagiku. Sebagai debutan, total viewers untuk keempat postingan tsb sudah mencapai 1265 pasang mata. Pembaca terbanyak dari keempat tulisan adalah "Kota Batam, sebuah Retrospeksi" sebanyak 407 pembaca dan 2 likers.

Ruaarrr biasaaa ...
Bandingkan dengan personal blog yg hanya mendapatkan 2916 pembaca selama 6 bulan dengan jumlah 60 tulisan.

Aku merasa seperti melayang melihat banyaknya jumlah pembaca tulisanku. Mudah-mudahan mereka mendapatkan suatu nilai yg positif atau paling tidak sudah tahu ada kompasianer baru sebagai warga dilapak citizen news tsb. 

Aku tidak tahu apakah viewers tsb benar-benar membaca tulisan sampai tuntas atau hanya sekedar buka dan membaca parable awal ... ah biarlah itu urusan pembaca.

Gak usah terlalu dipikirin. Yang penting nikmati aja banyaknya jumlah pembaca dari waktu ke waktu utk setiap tulisan di Kompasiana. Coba kalian bayangkan, kalau ada sekumpulan orang berkumpul sebanyak jumlah pembaca tulisanku seperti tercatat di data statistik Kompasiana ... wuah bakalan penuh 1 lapangan basket.

Sebagai debutan banyaknya jumlah pembaca menjadi stimulus bagiku untuk semakin rajin menulis. Rasanya lucu juga kalau menulis tapi tidak punya pretensi untuk dibaca banyak orang. Namun terkadang ada tanya dalam hati, kalau niat seperti itu yg dipunyai penulis, apakah masih murni idealismenya sebagai penulis?
Orientasi terhadap popularitas daripada kualitas menjadi taruhannya. 

Menyenangkan banyak pembaca dengan tulisan yg sesuai dengan afiliasi dan pandangan sosial politiknya atau menulis sesuai kata hati dan akal pikiran penulis yg berkembang?

Popularitas bisa menjadi pisau yg bermata dua. Mampu menggiring pembaca sesuai dengan visi sipenulis atau memanjakan pembaca hingga terlena tanpa banyak memberikan values ​​dan prespektif baru.
Namun kualitas tanpa popularitas sama tidak beruntungnya karena hasil karya kreatif akan menjadi kurang bernilai seakan berada di ruang hampa.

Kesimpulannya menurutku adalah ... jangan terlalu mikir, apakah kelak popular atau berkualitas tulisanmu, kawan. Menulislah apa yg dipikir dan dirasakan. Jujurlah menuangkannya. Dimulai dari lapak kecil pertemanan yg terbatas hungga terbuka luas utk publik. Menulis merupakan sarana escaping yg mengasyikkan saat mengisi waktu senggang ... selanjutnya itu adalah urusan pembaca.  珞

Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kentut Gua Merdu Gak ya?

Kompromi dengan Minat Anak