Gen X

Gen X

Berikan aku 10 pemuda agar dapat mengguncangkan dunia,  begitu kata bung Karno. Tentu pemuda yg diminta adalah pemuda yg progresif, pemuda yg punya determinasi dan semangat revolusioner yg tinggi utk membangun negerinya. Kalimat bapak bangsa ini selalu terngiang dibenakku tatkala berdiri dihadapan pemuda khususnya student/calon student yg sedang berjuang menuntut ilmu di Jerman.

Acapkali mereka yang kujumpai baik yg baru datang maupun yg sedang studi jumlahnya 5,10 bahkan 20 kali lebih banyak dari yg diminta oleh bung Karno. Ya.. merekalah anak generasi milenial yg hidup dijaman globalisasi informasi. Dengan kemudahan jaringan internet bukanlah hal sulit bagi mereka mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Iptek kini tidak lagi milik para birokrat science yg hanya dapat dipelajari di bangku universitas. Dengan demikian kalau hanya sekedar mencari ilmu, rasanya tidak perlulah jauh-jauh anak muda ini datang ke Jerman.

Tapi mengenyam pendidikan bukanlah sekedar mencari ilmu. Dia juga merupakan suatu proses mengenal, mencari dan menemukan peradaban baru dibalik ditemukannya suatu ilmu pengetahun dan teknologi. Iptek merupakan puncak-puncak peradaban dari suatu bangsa dan setiap puncak tersebut merepresentasikan kekarakteristikannya.

Untuk itulah aku melihat masa depan bangsa Indonesia pada raut wajah polos mereka yg setiap tahun jumlahnya semakin bertambah. Aku hanya bisa memompakan semangat dan bara api juang kepada mereka bahwa belajar di negeri puncak peradaban eropa ini tidaklah mudah walaupun terbilang murah. Mudah-mudahan mereka mampu dan akan membawa pulang iptek dan peradaban baru tsb bagi kemajuan bangsa kita.

Ibarat berperang..perang kalian akan panjang melalui berbagai pertempuran sengit dimulai dari persiapan studi, sekolah bahasa, seleksi studkol hingga duduk di bangku universitas. Bersaing tidak hanya dengan teman sendiri tapi juga dengan anak asing lainnya (auslander) untuk mendapatkan kuota tempat duduk yg terbatas yg disediakan oleh pemerintah Jerman.

Beradaptasi dengan lingkungan dan sistem pendidikan yg terkenal sangat menuntut kemandirian dan kedisiplinan. Berkompromi dan memaklumi kerigidan, kemusykilan dan kenaifan asing yg baru.

Aku membayangkan ketika lulus SMA di tahun 89 an dahulu. Sebagai anak muda dari Sumatera pada masa itu, umumnya cita-cita segenerasiku adalah bagaimana caranya bisa kuliah di pulau Jawa. Tidak pernah terbayangkan dan mendengar ada teman yg mau pergi ke negeri seberang terlebih ke negeri Jerman. Tapi kini anak daerah sudah gak ada bedanya lagi dengan anak kota besar spt Jakarta yg sudah sama-sama mengakrabi sinetron, musik pop dan medsos sejak dini,  bergaya sebagaimana warga kosmopolitan dunia.

Negeri ini memanglah negeri impian bagi setiap anak yg mau studi keluar negeri. Karena setiap orang yg berhasil lulus studi akan mendapatkan pekerjaan dan gaji yg cukup layak. Tapi untuk sukses studi kata para alumni, tidak cukup hanya belajar dengan keras tapi harus lebih keras bahkan lebih keras lagi. Prasyarat ini cukup beralasan karena walaupun belum terdata dengan pasti, cukup banyak terdengar student Indonesia yg harus mengepak kopornya lebih cepat dipaksa pulang oleh pemerintah Jerman karena kegagalan studinya.

Aku bilang kepada mereka, mungkin bisa belajar dari pengalaman orang lain yg telah sukses menempuh studi di Jerman. Aku pernah nonton wawancara media terhadap mantan Presiden Habibie. Waktu studi di Jerman beliau hanya punya 2 rutinitas kehidupan dalam keseharian yaitu ke kampus dan sesudahnya membenamkan diri di Bibliothek (perpustakaan) hingga larut malam.
Namun disela-sela aktivitas rutin tsb beliau juga ikut dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan seperti PPI.

Untuk membangun Indonesia ke depan, kalian tidaklah cukup hanya berbekal pengetahuan akademik saja tapi juga harus melatih social skill agar kelak tidak hanya menjadi tukang insinyur tetapi calon-calon pemimpin bangsa yg berlatar insinyur seperti halnya bung Karno.

Kalian yg kuliahnya di bidang renewable energy misalnya, tidak akan dapat mengimplementasikan ilmunya di Indonesia kalau para pemimpin dan pengambil kebijakan masih berkutat cara berpikirnya bagaimana mengeksploitasi energy fosil sebesar-besarnya utk ketersediaan energi listrik di Indonesia. Kalian harus jadi pemimpin untuk mengubah kebijakan tersebut.

Ah..aku merasa seperti orang tua ajah 😀😆

http://catatanhermansyahsiregar.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kompromi dengan Minat Anak

Menggugat (umat) Tuhan