Pribumi Jaman Now

22/10/2017
Pribumi Jaman Now

Akhir-akhir ini lini masa dan media sosial dihebohkan dan menjadi trending topic kata pribumi. Kata tsb menjadi isu yg menarik dieksplorasi sejak Gubernur baru Jakarta menyampaikan pidato pelantikannya. Kata pribumi berkembang liar menjadi isu politik dan sosial yg menyita perhatian kita.
Ada yg bilang, penggunaan kata tsb tdk perlu dan tidak patut karena bukannya meredakan tapi malah memicu kembali terbelahnya warga setelah kontestasi pilkada yg sangat keras di DKI Jakarta. Pro dan kontra terjadi dan polemik ini digoreng oleh media massa dgn gegap gempita. Bukankah badnews bagi publik merupakan goodnews bagi media.
Kalau kita ulas apa yg disampaikan Gubernur, tidak ada yg keliru dengan penjelasannya. Beliau yg berlatarbelakang seorang pendidik mencoba menarik jauh keadaan pribumi pada jaman kolonialis Belanda khususnya di Batavia tempo doeloe yg teramat merasakan ketertindasan.
Naluri seorang pengajar masih kental terasa dlm narasi beliau yg secara runtut dan metodologis menjelaskan rangkaian babak sejarah administrasi pemerintahan sbg pencerahan dan edukasi kepada masyarakat. Dalam mimbar akademik rasanya deskriptif historis tsb adalah wajar.
Namun disisi lain kelihatannya beliau lupa kalau baru saja diangkat sebagai pengemban jabatan politik yg sangat penting dari hasil proses pemilu Kada yg sangat keras dalam sejarah republik.
Pasangan pimpinan kepala daerah ini menjadi hotspot menarik atensi khalayak baik para pendukung maupun penentangnya juga bagi mereka yg netral atau golput pada masa pilkada. Setiap kata yg terucap, laku yg diperbuat dapat menjadi berita politik yg menarik.
Bahkan Wagub yg kelupaan atau sengaja tidak memakai tali pinggang agar lebih fashionable menjadi santapan netizen karena dianggap tidak sesuai dengan tata cara berpakaian dinas.
Ada penafsiran pembaca yg entah keliru atau mencari angle serang atas pidato tsb bahwa AB mencoba menarik kesimpulan dlm rangkaian rentang waktu hingga 72 tahun merdeka sepertinya nasib pribumi belum begitu beruntung.
Terlebih bila kita mencermati gini rasio Indonesia yg rendah dan menurut laporan Bank Dunia tahun 2016 bahwa 50 % aset nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 1 % penduduk. Tentu pembaca bisa menyimpulkan siapa saja 1% penduduk tsb.
Hal ini memantik kontroversi dan menjadi amunisi bagi lawan politik karena penyebutan pribumi sudah dilarang dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan pemyelenggaraan pemerintahan sesuai Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Walaupun secara kontekstual narasi pribumi yg disampaikan adalah pada jaman kolonial.
Pernyataan tsb tentu akan berpengaruh dalam upaya percepatan proses rekonsiliasi dan konsolidasi utk membangun public trust bahwa gubernur baru adalah gubernur bagi semua warga Jakarta.
Pribumi Jaman Hindia Belanda
Kata pribumi atau bumiputera (istilah orang Malaysia) berawal dari penetapan klasifikasi penduduk di Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial. Di dalam Pasal 163 Indische Staatregeling (IS) penduduk dibagi dlm 3 golongan.
Yang tertinggi adalah golongan orang Belanda dan Eropa; Kedua golongan timur asing (china, arab dan india); dan yg ketiga inlader atau penduduk lokal. Istilah Inlander ini berkonotasi merendahkan dan merupakan strata terendah warga masyarakat dgn segala pembatasan hak yg ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Inlander dalam bahasa lokal penyebutan menjadi pribumi.
Kalau kita pernah membaca novel Douwes Dekker dgn nama samaran Multatuli yg berjudul Max Havelar, penindasan pribumi tidak secara langsung dilakukan oleh kolonial belanda tapi melalui tangan2 para bangsawan dan priyayi yg mendapatkan priveleges dari pemerintah kolonial. Adapun penduduk timur asing menjadi perpanjangan tangan kolonial dalam menjalankan kepentingan bisnis dan perdagangannya di hindia belanda.
Era Awal Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, untuk mengukuhkan dan menjaga persatuan kesatuan bangsa serta dalam upaya melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda yg ingin memecah belah hindia belanda menjadi negara boneka kolonial maka diatur ketentuan dalam UUD 1945 pada Pasal 6 yg menyatakan bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli.
Penduduk yg merupakan golongan Eropa menjadi orang asing dan penduduk golongan timur asing diminta utk memilih apakah menjadi asing atau menjadi WNI dan inlander sbg pribumi otomatis menjadi WNI (UU No 62 Tahun 1958).
Untuk membangun ekonomi negara yg baru berdiri, pemerintah Soekarno melakukan nasionalisasi aset eks kolonial dan memberikan kesempatan dgn affirmative policy guna menumbuhkan pengusaha pribumi yg dikenal dgn program Benteng pada bulan April tahun 1950.
Kebijakan ini dipandang penting krn selama ratusan tahun pemerintah kolonial tdk memberikan kesempatan bagi pribumi bersentuhan dgn dunia usaha sehingga kurang mempunyai jiwa kewirausahaan (entreprenuership). Tujuannya dgn Program Benteng akan terbentuknya suatu kelas pengusaha Indonesia pribumi (dalam arti non Tionghoa). Namun sayang sekali program ini kurang berhasil dan dihentikan pada tahun 1957. Sumber wikipedia.
Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan utk mendorong usaha pribumi dengan menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959, yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak), dan mengakibatkan eksodus besar-besaran orang Cina (belum warganegara Indonesia) dan keturunan Tionghoa kembali ke Cina.
Model kebijakan affirmative seperti ini pernah diterapkan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad dgn nama New Economic Policy (NEP) dengan lebih memilih look to east dalam hal ini berkiblat dgn model pembangunan di negara Jepang.
Era Orde Baru
Selama pemerintahan orde baru, Soeharto mencoba membangun kelas menengah Indonesia dengan focal pointnya pengusaha keturunan Tionghoa namun membatasi kiprah WNI keturunan di bidang politik. Dengan pertimbangan sejarah yg panjang sejak era kolonial sehingga jiwa entrepreneurship telah tertanam sebagai culture set dan way of living maka pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yg dianggap paling siap utk menggerakkan dunia usaha dan ekonomi nasional secara konglomerasi.
Setiap pengusaha besar mempunyai anak asuh pengusaha kecil (pribumi) yg dibina yg pada gilirannya kelak akan menjadi pengusaha besar dan terbentuklah Indonesia incorporated. Teorinya dikenal sbg Trickle Down Effects.
Namun sayang sekali program tsb kurang berhasil justru kesenjangan ekonomi dan gini ratio semakin besar. Bahkan banyak pengusaha keturunan yg mengemplang dana BLBI saat krisis ekonomi melanda Asia dan Indonesia.
Kondisi ini yg mengakibatkan ketika terjadi reformasi tahun 1998, warga keturunan menjadi korban dan sasaran amuk massa sehingga banyak dari mereka yg melarikan diri mencari suaka dan kehidupan baru di luar negeri.
Era Reformasi
Untuk merajut kembali tenun kebangsaan yg sempat terkoyak pasca orde baru maka Presiden Habibie menerbitkan Inpres nomor 26 Tahun 1998 sebagaimana disebutkan diawal. Dan diperkuat legal basisnya dgn memasukkan klausul HAM di dalam konstitusi RI yaitu UUD 1945 yg diamandemen khususnya pada bab XA Pasal 28.
Pada Pasal 6 UUD 1945 amandemen juga memuat persyaratan menjadi Presiden yg secara tersirat meredefinisikan istilah pribumi dan orang Indonesia asli. Disebutkan, pada ayat (1) sbb:
Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dan redefinisi istilah pribumi selanjutnya secara tegas tersurat di dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pada Pasal 2 yg menyatakan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "bangsa Indonesia asli" adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Dengan demikian maka ketika kita mendengar kata pribumi atau Indonesia asli dalam konteks kekinian adalah mereka yg sejak kelahirannya menjadi WNI. Gak peduli anda beretnis Tionghoa, Arab, India atau etnis lainnya sepanjang anda sejak lahir berkewarganegaraan Indonesia dan tidak akan pernah menerima kewarganegaraan lainnya dan tentu saja cinta Indonesia maka anda adalah pribumi dan orang Indonesia asli.
Anda, saya dan kita semua adalah pribumi jaman now.
Sebagai sesama pribumi dan orang Indonesia asli, marilah kita bersama2 membangun Indonesia yg berkemakmuran dan berkeadilan. Kita dukung program pemerintah dlm upaya mempersempit kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk antara lain dengan redistribusi aset nasional, reformasi agraria dengan memberikan sertifikasi scr massif kpd rakyat sbg modal usaha, repatriasi aset dari luar negeri ke dalam negeri dlm program tax amnesty dan kepatuhan perpajakan utk membangun infrastruktur dan memperkecil kesenjangan Jawa dan luar Jawa serta mempermudah jalur logistik dari pedalaman, permodalan usaha yg affirmative kpd kelompok Usaha kecil dan menengah dan lain-lain.
Tanpa upaya yg sungguh" yg didukung oleh berbagai komponen bangsa serta reformasi hukum yg tdk diiringi dgn reformasi di bidang ekonomi dan pembangunan yg berkeadilan maka istilah pribumi dan non pribumi akan selalu menjadi momok dalam relasi sosial dan politik di Indonesia.
Laporan Bank Dunia tahun 2016 yg menyatakan bahwa 50 % aset nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 1 % penduduk tentu sebagai alert bagi kita semua agar kerusuhan sosial berlatar etnik tidak kembali berulang dan kohesivitas nasional tetap terpelihara.

Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kompromi dengan Minat Anak

Menggugat (umat) Tuhan