Politik dan Politisi Masuk Sekolah

19/07/2017
Politik dan Politisi Masuk Sekolah
(My life story abroad)


Berlin 20/07. Pagi ini aku mendapatkan kiriman sms digroup whatsapp keluarga. Anak sulungku mengirim pictures dan bilang, "tadi sekolahku mengundang orang politik dari partai2 Jerman yg nanti partainya nyalon buat di reichstag (parlemen)."
Aku rada kaget juga membacanya. Sekolah menengah (bukan kampus universitas-pen) dimasuki para politikus dan berkampanye pula. Peristiwa seperti ini akan jadi masalah besar bila terjadi di negeriku pikirku dalam hati.
Secara seksama aku perhatikan foto2 yg dikirimnya. Beberapa partai politik diberikan panggung oleh sekolah utk berkampanye dan murid dengan hikmat mendengarnya. Ada partainya kanselir Jerman Frau Merkel yaitu Christian Democratic Union (CDU), juga partai terkemuka lainnya seperti Freie Demokraten Partei (FDP), Sozial Demokratische Partei (SDP), Die Linke dll.
Tidak ada spanduk yg besar menyembul dan tergantung di dinding sekolah dengan foto2 politikus yg mematutkan muka dengan senyum ramah dan sumringah. Tidak ada politikus yg memakai pakaian berwarna khas partainya atau mengenakan atribut parpol dan simbol khas keagamaan tertentu. Semua berpenampilan wajar saja seperti kebanyakan warga Jerman.
Satu hal yg patut menjadi contoh di Jerman adalah kesederhanaan dan minim akan simbol atau lambang" yg menunjukkan identitas diri dan kelompok. Esensi lebih penting daripada ceremoni dan content lebih perlu daripada casing bagi mereka.
Melihat acara ini aku berpikir, memberikan pendidikan politik sedini mungkin terhadap warga negara bagi pemerintah Jerman dipandang sangat penting. Dengan hadirnya politisi menjelaskan platform partainya yg berbeda dan beragam, berdiskusi dan berdebat terkait program, visi dan misinya maka anak didik akan menjadi terbiasa melihat suatu perbedaan dan menghormati perbedaan tsb sebagai hikmat untuk kemajuan bangsanya.
Kalau kita perhatikan di Indonesia saat ini, parpol dan politisi masuk ke dalam dunia pendidikan memberikan pendidikan politik praktis, umumnya pada jenjang pendidikan perguruan tinggi. Mungkin peserta didik dalam hal ini mahasiswa lah yg dianggap sudah cukup layak scr kognitif menerima pendidikan politik yg cukup serius tsb.
Bila pendidikan politik praktis hanya diberikan di dalam dunia perguruan tinggi, timbul pertanyaan, bagaimana dengan siswa2 yg lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan melanjutkan sekolahnya kuliah di luar negeri.
Saya rada khawatir akan tumbuh kelak generasi yg apolitis bahkan alergi dengan politik seperti halnya generasi tahun 80 an yg mengalami masa Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Pemerintah orde baru saat itu melarang organisasi kemahasiswaan ekstra kampus masuk ke lingkungan kampus dan menjauhkan mahasiswa dari kegiatan politik.
Tukang Insinyur
Umumnya mahasiswa Indonesia di Jerman mengambil jurusan teknik karena memang negara Jerman sangat maju di bidang ini. Kelak mereka akan jadi "tukang insinyur" (meminjam istilahnya si doel anak sekolahan). Ibarat pekerjaan tukang, ia bekerja sesuai pakem ilmu teknik tukang yg dipelajarinya. Tanpa peduli siapa yg memberi order pekerjaan dan bagaimana order tsb didapatkan oleh mandor tukang. Tanpa pernah bertanya mengapa order pekerjaan ini yg dilakukan bukan menggunakan tukang dengan keahlian lain yg berbeda.
Pada suatu kesempatan, aku pernah diskusi dengan seorang mahasiswa Indonesia yg mengambil jurusan renewable energy di Jerman. Ia bilang bahwa Indonesia adalah surganya renewable energy. Di laut kita punya sumber energi dari arus laut dan angin laut. Di darat kita punya energi panas bumi, arus sungai dan tumbuhan biofuel. Di udara kita punya angin darat, panas matahari dan lain2. Kita belum mendesak utk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Masih banyak energi alternatif lain yg dapat dimanfaatkan yg tidak merusak lingkungan dan berkelanjutan.
Aku rada kaget mendengar penjelasannya dan terkagum2 dengan kekayaan bumi pertiwi yg melimpah dibandingkan negara Jerman yg hanya punya sumber energi alternatif windmill dan solar system. Namun satu hal saya ingatkan kepadanya, melimpahnya energi alternatif tsb dan tersedianya tenaga ahli (tukang insinyur-pen) lulusan Jerman spt anda tidak akan dapat dimanfaatkan dan direalisasikan ilmunya jika keputusan politik di Indonesia tetap menetapkan pemanfaatan secara optimal energi fosil yg sdh terbatas cadangannya. Tidak peduli konsumsi energi tidak terbarukan tsb menghabiskan devisa negara dgn mengimport BBM. Tentu dibalik kebijakan tersebut tak dipungkiri akan ada mafia migas yg bermain.
Untuk itu "tukang insinyur" seperti anda harus mengerti dan paham politik untuk mengimplementasikan keilmuannya membangun Indonesia. Contoh sederhananya adalah Bung Karno yg seorang tukang insinyur tp sangat paham politik sehingga ketika beliau menjadi pemimpin dgn memanfaatkan ilmu teknik sipilnya membangun berbagai gedung yg menjadi landmark di Indonesia hingga saat ini. Contoh yg lebih kekinian adalah terasa berbeda ketika sentuhan tangan kepemimpinan seorang tukang insinyur menukangi kotamadya Bandung dan Surabaya.



Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kompromi dengan Minat Anak

Menggugat (umat) Tuhan