Abnon di Garten Der Welt

13/05/2017
Abnon di Garten Der Welt
(my life story staying abroad)


Berlin (12/05). Memasuki awal kuliah tahun 90 an, aku pernah punya angan pengen ikutan kontes model spt abang dan none Jakarta. Keinginan tsb saat itu cukup beralasan setidaknya menurut pendapatku (boleh dong). Bukan karena merasa “good looking” tapi tinggi badanku sbg pemuda generasi 'breakdance' terbilang cukup tinggi yaitu sekitar 170 cm. Dibandingkan dengan teman2 sepantaranku kayaknya termasuk diatas rata2 utk masa itu.
Motivasi lain adalah ini merupakan cara yg mudah utk mendapatkan penghasilan tambahan guna menutupi kekurangan atau keterlambatan kiriman bulanan dari ortu. Ah...gampanglah cuma lenggak lenggok di atas catwalk, selesai and dapat duit. Pikirku saat itu.
Tapi gimana ya caranya utk bisa masuk dunia modelling atau kontestasi pria idaman masa itu? Hmm…karena lack of information angan2 itu pupus begitu saja sebelum berkembang. Sebagai anak rantau di Jakarta, akhirnya aku menyadari garis tangan untuk hidup dan bertahan di kota metropolitan ini sangat ditentukan seberapa luas akses informasi dan horizon pergaulan kita utk mengembangkan diri.
Kesempatan terbuka lebar bagi orang2 yg mau berjibaku tanpa kenal lelah mengejar impiannya. Ada yg bilang kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota tp menurutku tak sepenuhnya benar pernyataan itu.
Ibukota lebih menjanjikan harapan bagi sang pemimpi dibanding ibu tiri yg akan mengubur anganmu. Ibukota bisa menjadikan kamu apa saja yg kamu inginkan tidak seperti halnya ibu tiri yg menjadikanmu pembantu di rumahmu sendiri.
Heyy...kok kamu selalu membandingkannya dengan ibu tiri? Apakah sejelek itu kehadiran ibu tiri dalam kehidupan domestik dan sosialmu sehingga sangat layak dibandingkan dengan sebutan ibu, baik secara harfiah maupun maknawiyah?
Framing Akut
Sabar kawan...ini adalah suatu fragment kisah kehidupan yg disetting sedemikian rupa oleh media hiburan sekitar tahun 80 an. Baik didalam cerita film, sandiwara radio bahkan dalam suatu nyanyian pop anak2 dikala itu spt lirik lagu ratapan anak tiri dibawah ini:
Betapa malang nasibku
Semenjak ditinggal Ibu
Walau kini dapat ganti
Seorang Ibu, Ibu Tiri

Tiada sama rasanya
Ibu kandung yang tercinta
Menyayang sepenuh jiwa
Penuh kasih lagi mesra

Reff:
Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja
Selagi ayah disampingku ku dipuja, ku dimanja
Tapi bila ayah pergi ku dinista dan dicaci
Bagai anak tak berbakti, tiada menghirauku lagi

Aduhai ibu tiriku
Kasihanilah padaku
Bagai anakmu sendiri
Agar dapat ku berbakti

Syair dan irama lagu ini begitu dramatis dan penuh kegetiran. Syahdu namun mencemaskan. Aku ingat dimasa kecil selalu merasa ketakutan mendengarkan lantunan lagu ini. Aku akan berupaya mematikan kasetnya atau berlari menjauh dan berpura2 tidak mendengarkannya.
Ketakutan yg merasuk sisi emosi seorang anak yg takut kehilangan ibu kandungnya dan cemas melihat bapaknya. Para musisi, penyanyi, industrialis musik, birokrat, psikolog sepertinya tak peduli saat itu. Komersialisasi drama kehidupan dan relasi ibu tiri dengan anak tiri yg digeneralisir lebih menggiurkan daripada mempertimbangkan sisi kejiwaan dan emosional anak.
Cobalah kalian cari di google dgn mengetik “ratapan anak tiri” maka berderet-deret link lirik lagu dan penyanyi yg pernah mempopulerkan lagu ini sejak jaman bahuela hingga saat ini. Lagu legendaris sepanjang masa yg tentunya menjadi legenda dalam mitos yg menakutkan anak jaman dari masa ke masa.
Untungnya ibuku yg lain yg bernama ibukota menyelamatkanku dan terhindar dari bayang cengkeraman ibu tiri yg diframe negatif oleh seniman melankolis, apatis dan paralysis. Ibukota ternyata memberikan ladang baru untuk kehidupanku.
Terbuka utk Semua
Kesempatan acara jamuan malam ini dengan delegasi budaya dan pariwisata yg dibawa oleh Deputi Gubernur DKI Jakarta ke Berlin, kumanfaatkan utk bercengkerama dengan para seniman Betawi dan Bali.
Melihat abang dan none Jakarta yg perawakannya tinggi menjulang, mengingatkanku akan impian yg tidak kesampaian dimasa lalu. Aku merasa tenggelam di balik punggung dan bayang ketinggian anak2 muda Indonesia kini. Namun aku bangga, ini menunjukkan asupan gizi mereka sudah lebih baik dibanding aku dan generasi jamanku.
Physically, mereka gak kalah posturnya dengan anak muda Jerman yg sudah demikian dari sononya. Mereka tampil pede dan cukup intelek mewakili sosok generasi muda Indonesia masa kini. Atau dengan kata lain gak modal tampang doang.
Penampilan mereka cukup impresif saat memeriahkan acara Pamelaspasan Pura Tri Hita Karana di Garten Der Welt Marzhan dan Festival Culture Richness 
of Indonesia di Internationale Garten Ausstellung (IGA) 2017 di kota Berlin.

Garten Der Welt di daerah Marzhan merupakan taman mini yg berkelas dunia. Setiap negara yg terpilih diberikan suatu area taman yg mana di area lokasi tersebut dapat mendirikan replika bangunan berarsitektur khas negaranya dan Indonesia sebagai negara terpilih, direkomendasikan tuan rumah mendirikan replikasi bangunan Pura pulau Dewata.
Kalau di Indonesia kita punya Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang merupakan taman dimana banyak berdiri gedung bangunan berarsitektur khas setiap propinsi di Indonesia maka Garten Der Welt adalah taman dimana banyak berdiri bangunan berarsitektur khas setiap negara di dunia.
Konsepnya hampir sama spt TMII dengan menambah keragaman flora tanaman asli tiap2 'negara'. Untuk arsitektur yg berasal dari negara tropis, guna menjaga keaslian desain dan ketahanan fisik konstruksi bangunan, gedungnya ditempatkan dlm suatu ruangan luas berdinding kaca dengan temperatur dan pencahayaan yg disesuaikan dengan kondisi aslinya scr natural.
Kalau kita masuk ke dalam sanctuary tsb rasanya persis spt sedang berada di negara yg kita kunjungi baik dari unsur bangunannya maupun temperatur dan ambience nya.
Iseng ngobrol dengan mereka berdua, tanpa disangka dan diduga ternyata si Abang Jakarta ini orang batak bermarga Sijambak dan si None bernama Yasmin yg punya ompung bermarga Siregar. Alamaak jaaaang…halak hita sasudena rupanya.
Kenyataan ini semakin meyakinkanku bahwa ibukota tidaklah sekejam ibu tiri karena si ibu memberikan kesempatan anak2 muda yg bukan asli orang Jakarta (bukan putra betawi) utk mewakili keberadaannya. Tidak peduli ia berasal dari mana, suku maupun keturunan siapa. Yang penting dia cinta ibukota dan tentunya punya KTP Jakarta.
Aku bertanya sama si Abang Jakarta, sekarang kerjanya dimana. Abang lae ini bilang, "aku kerja di lawfirm tulang tapi kuliah belum selesai."
"Apa gak mau terjun ke dunia entertainment kau dek," tanyaku. "Yah..tulang tau sendirilah tradisi orang batak. Bapak, mamak dan ompungku seolah gak peduli anak atau cucunya sudah punya prestasi sbg abang Jakarta. Pertanyaan mereka selalu kepadaku adalah...kapannya kuliah kau selesai ucookk ??" ucapnya.
Ya..bagi orang batak sekolah memang prioritas nomor satu. Pendidikan adalah strata tertinggi kebanggaan orang tua suku batak. Aku teringat ditahun 80 sd 2000 an, sangat banyak inang2 berdagang jual beli, angkut dan muat barang naik kapal Pelni ke Jakarta-Medan dan sekitarnya untuk mencari uang. Inang2 ini walaupun kelihatannya sederhana tapi coba tanya mereka, apa sekolah anaknya.
Begitu juga si eneng None gak beda pandangannya dengan si Abang. Ternyata dugaanku salah selama ini..mereka tidak menjual tampang doang. Bahasa english nya yg fasih saat membawakan acara dan kemampuan menguasai materi dapat disimpulkan mereka pribadi yg cukup cerdas.
Dan sebagai penutup...untuk pelipur lara.. tak apalah kalau awak ini gak jadi model dimasa lalu karena kini sudah ada generasi penerus yaitu keponakanku ketemu gede yg cantik dan ayu yg ternyata neneknya bermarga Siregar menjadi None Jakarta.
Ayo kita foto sejenak abnon ibukota. Walaupun aku keliatan spt liliput diantara kalian berdua..tak apalah...yg penting bisa begaya...bersiapppp...eins..zwei...drei...jepreeeetttt







Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kompromi dengan Minat Anak

Menggugat (umat) Tuhan