Jangan Percaya Bakat !!

04/11/2017
Jangan Percaya Bakat !!!

Sedari kecil aku pengen sekali pinter melukis. Rajin beli buku lukis dan berbagai alat utk melukis. Hasilnya... ternyata jauh dari bagus (mungkin itu yg akan dibilang oleh pak Tino Sidin). Kalau kalian masa kanak-kanaknya tahun 1980 an pasti kenal pak Tino yg membawakan acara belajar menggambar sore hari di stasiun televisi satu-satunya dijaman orde baru yaitu TVRI. Pelukis kawakan ini punya ciri khas tampilan yakni selalu memakai topi flat cap dan kaca mata berbingkai tebal berwarna hitam.
Dengan tarikan spidol hitamnya ke atas, ke bawah, kanan dan kiri, diiringi tutur kata yg lembut dan perlahan scr tak sadar sudah terbentuk sketsa gambar sederhana namun indah. Aku selalu takjub melihat hasil lukisan pak Tino. Dengan teknik lukis dasar tp hasilnya diluar imajinasi masa kanakku. Aku coba ulang teknik menarik garis yg baru diajarkannya...sret.. sret... dan hasilnya kok jelek ya. Hmm...mungkin aku keliru menirunya atau salah memahami teknik goretan garis tsb.
Sambil terus menonton acara pak Tino di TV yg masih hitam putih warnanya dan terkadang banyak semut yg lalu lalang di layar kaca, tanganku memegang spidol hitam sedangkan mataku tak berkedip melotot ke arah tabung cembung itu. Dan hasilnya menurutku... masih tetap belum bisa memuaskan selera penikmat lukisan bahkan adik kelasku yg masih ingusan sekalipun. Kecewa ?? Tentu saja...!!!
Menjelang akhir acara, pak Tino Sidin menunjukkan lukisan kiriman anak-anak dari berbagai daerah di Indonesia. Dan selalu komentar beliau seperti ini,
"Anak-anak sekalian. Ini adalah lukisan temanmu yg bernama X, berasal dari kota Y dan duduk dibangku sekolah Z. Lukisannya mengenai bla..bla..bla...BAGUSSS."
Aku sengaja menulis kata 'bagus' dengan huruf kapital karena seringnya kata itu meluncur dari mulut beliau yg diucapkan diakhir kalimat sbg penilaian atas suatu lukisan yg dikirim. Akhirnya kata 'bagus' menjelma menjadi icon dan trademarknya pak Tino. Orang-orang pada jaman itu dan masih ada sebagian pada jaman now yg suka latah kalau memamerkan suatu karya (apapun itu) dengan mengucapkan kata akhir 'bagus' sebagai penutup kata dan hadirinpun tertawa.
Aku pelototi lukisan kiriman anak-anak sebayaku tsb satu persatu. Dan memang lukisannya bagus paling tidak lebih bagus dari lukisanku. Tiap kali kata bagus terdengar, daun telingaku terasa mulai panas..semakin panas..tambah panas dan memerah bara.
"Ini lagi kiriman dari temanmu....baguusss," suara itu semakin memprovokasiku.
Rasa panaspun merambat menjalar ke arah mata..matapun mulai panas...semakin panas...tambah panas dan matapun memerah bara. Tanpa sadar tangan kananku yg disela jari-jarinya terselip spidol hitam seketika terangkat ke atas dan membanting spidol tsb dengan keras ke lantai. Kakiku melangkah tegap menghentak geram ke arah TV.
Telunjuk jari kanan segera menyentuh tombol on off TV dan menekan dengan keras. Suara 'bagus' pun mendadak hilang. Ku tarik paksa sliding door kanan kiri menutup tabung layar dan panel TV dan tak lupa menguncinya. Akupun segera lari ke lapangan bola di belakang rumah berbaur dengan teman-temanku yg sedang main bola.
Ku kejar bola dimanapun ia menggelinding. Ku sepak tendang jauh sekuat tenaga. Ku kejar lagi dan tendang kembali. Siapa yg menghalangi aku terabas tak peduli. Tak dapat merebut bola, kaki kawanpun disambar jadi. Mengerang terkejang kawanku kesakitan itu sudah resiko bermain bola kaki. Yang penting hatiku puas melampiaskan kesal hati.
Ritual sesat tsb selalu berulang setiap minggu setelah menonton acara pak Tino Sidin yg diujung prosesinya ada suara anak mengerang di lapangan bola krn kakinya disambar oleh orang yg kesurupan. Lakon buruk tsb berakhir setelah aku sadar dan mahfum tidak punya bakat dalam melukis. Dan akhirnya mulai mencari hobby lain dan ketemulah hobby baru yaitu membaca buku bergambar alias komik.
Uang jajan dipakai bukan utk jajan makanan tapi buat baca komik di warung komik. Mojok berjam-jam hingga perut lapar melilit. Habis membaca serial Gundala Putra Petir, lanjut cerita super hero anak negeri lainnya Godam. Sambung cerita silat Si Buta dari Gua Hantu kemudian pendekar gendeng yg namanya dicatut utk aksi demo yaitu Wiro Sableng 212.
Duit habis baru mulai beranjak pulang dan siap-siaplah mendengar pekik suara melengking menggelegar ibunda tercinta melihat anak bujangnya yg baru keliatan batang hidungnya. Gak tahu waktu dan tak peduli ibu sibuk dirumah butuh pembantu.
Anak-anak dan remaja tanggung pada jaman itu banyak yg ketagihan baca komik. Warung komik menjadi tempat ngumpul anak-anak, seperti warnet game online pada jaman now. Warung komik terkesan seperti tempat ngumpul anak-anak yg malas belajar dan habiskan uang orang tua. Tempat anak-anak yg tidak peduli lingkungan dan asik dengan fantasi kehidupannya sendiri bersama cerita bergambar tsb.
Kalau membaca cerita komik serial, agar tidak berhenti membaca karena ada beberapa jilid sdg disewa pembaca lain, sebaiknya diborong sewa semua buku komik dari jilid satu sampai jilid akhir. Agar aman, semua jilid buku komik serial tsb diikat pakai karet gelang dan amankan dari jangkauan orang lain.
Entah kenapa walaupun komik merupakan buku cerita bergambar, aku yg kegandrungan membacanya sama sekali tidak tertarik meniru melukis gambarnya. Gak pengen berlatih agar kelak bisa mengembangkan dan membuat gaya lukis komik sendiri. Lebih asik membaca daripada corat coret gak karuan dan menghabiskan waktu pikirku.
Entah kenapa tiba-tiba ada kebijakan pemerintah waktu itu membatasi peredaran buku komik. Aku gak ngerti sampai saat ini kenapa kebijakan tsb bisa terjadi. Akhirnya buku komik perlahan hilang dipasaran dan warung komikpun banyak yg tutup.
Entah kenapa diawal tahun 90 an seiring dgn hilangnya komik cerita anak negeri, tiba-tiba negeri kita kebanjiran komik Jepang dgn gaya lukisannya beraliran manga. Aku bingung, sebelumnya komik Indonesia dibatasi dan hilang dipasaran, tiba-tiba datang berlimpah ruah dipajang di toko-toko buku seantero negeri buku komik dari negeri sakura. Ada apa gerangan..mengapa buku komik hitam putih fantasi pencerita anak negeri yg tadinya mewabah malah dibuat tidak berdaya dan akhirnya terkubur mati.
Beberapa hari ini, anak sulungku menyendiri di kamarnya. Sibuk asik corat coret yg merupakan hobbynya sedari kecil. Kalau lagi gak ada kerjaan, dia suka meniru gambar dan bereksperimen membuat gambar model baru. Aku tidak mengerti kenapa anakku ini suka menggambar. Turun bakat dari bapaknya...jauh panggang dari api. Atau dari maminya podo wae setali tiga uang dengan bapaknya.
Yang kutahu pada masa kecilnya awal belajar menggambar, lukisannya jauh dari kata bagus menurutku bahkan bisa dibilang jelek. Sama aja denganku dulu. Tapi bedanya dia suka asik dengan dirinya sendiri (mungkin karena gak ada komik spt jamanku dulu) diisinya dgn corat coret apa aja dan berkembang seiring tumbuhnya usia coretan itu mulai berbentuk. Orang bilang anakku berbakat...tapi gak juga menurutku karena aku paling tahu bagaimana awal kecilnya mulai menggambar. Orang bilang mungkin menurun dari bapaknya. Ini malah lebih ngaco lagi, pastinya tidaklah yau.
Anakku bilang, teman dari temannya yg follow instagramnya (tidak begitu kenal orangnya) memintanya membuat logo utk usaha yg baru dirintis keluarganya. Entah kenapa alasannya meminta anakku yg buat logo tsb. Itu urusan ybs dan gak penting dibahas menurutku. Apakah nantinya logo tsb layak atau tidak mnrt pemesan itu juga gak penting krn itu urusan selera. Dapat imbalan atau tidak, itu juga gak penting karena kerja seni anakku belum layak berorientasi komersial.
Ada orang yg meminta untuk membuat logo, menurutku itu lebih penting daripada hasilnya. Setidaknya ada yg mengapresiasi karya lukisnya selama ini dan ingin mencoba memberikan kesempatan buatnya utk bereksperimen.
Kawan, aku ceritakan hal ini bukan dengan pretensi ingin mengabarkan bahwa anakku pinter melukis loh. Tidak....!!! Aku hanya ingin berbagi cerita berdasarkan pengalaman ini bahwa ternyata bakat itu bukanlah segalanya bahkan jangan percaya dengan istilah bakat. Tidak ada itu bakat alam atau bakat turunan apalagi bakat tanjakan, tikungan maupun kelokan. Jangan cepat menghakimi anak kita tidak berbakat. Yang ada adalah seperti pepatah orang tua kita dahulu yg bilang:
Alah bisa karena biasa, lancar kaji karena diulang. Rajin pangkal pandai malas pangkal bodoh.
Onde, rancak bana...






Comments

Popular posts from this blog

Selayang Pandang Dunia Pendidikan di Jerman

Kompromi dengan Minat Anak

Menggugat (umat) Tuhan