Mie Lendir dan Teh Tarik Rasa Bhinneka
01/05/2017
Mie Lendir dan Teh Tarik Rasa Bhinneka
(my life story going back home)
Batam (30/04). Hi guys..sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen nulis cerita ttg culinary karena aku termasuk pria yg jarang turun ke dapur. Ya...karena semasa kecil, ruang dapur keluarga besarku sdh cukup sesak dgn banyaknya kakak perempuan dan ibu yg mengokupasi area domestik itu.
4 (empat) kakak perempuanku beserta 1 komandan garnisun yaitu ibuku akan mengusirku dari teritory kekuasaannya.
Dan sebagai anak laki2 yg imut dan penurut..ceilee..akupun selalu duduk manis disamping ayahku menunggu menu terhidang setiap kali 'apel' makan siang dan malam.
Ekspedisi logistik dari ruang dapurpun mengalir teratur menuju ruang makan yg diusung oleh 5 orang anggota SSP (Satuan Setingkat Peleton).
Sebagai anak lelaki halak hita, setelah makanan yg terhidang diambil ayahku selanjutnya giliran anak lelaki tertuanya yg mencicipinya. Mungkin ini ciri khas budaya patriakhat batak mandailing kali ya.
Sungguh nikmat rasanya jadi anak laki kecil yg punya kakak perempuan segambreng terlebih di dalam keluarga batak. Tata laksana rumah tangga dari A - Z pasti beres dan akupun bagai pangeran yg selalu disayang dan dimanja.
Apalagi kelak akan mewariskan marga leluhurku yaitu suatu marga yg konon katanya bisa menciptakan suasana menjadi segar alias Siregar..
Namun sayang seribu sayang, marga yg unik dan keren ini harus berhenti stop ditanganku krn kedua anakku terlahir sbg perempuan. Mereka tidak dapat meneruskan tongkat estafet 'cool' nya marga Siregar. Kecuali para petinggi adat bersedia melakukan amandemen hukum peradatan yg tidak tertulis tsb.
Mau minta nambah anak lagi agar dpt anak lelaki spt ayahku dulu, tidak bisa, krn yg punya rahim menolak dan bilang dgn tegas seraya mengacungkan kedua jari tangannya (bukan kampanye pilkada loh).. 2 anak cukup sesuai anjuran Badan koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lelaki atau perempuan sama saja!!!
Tumbuh besar, akupun menjadi lelaki yg hanya bisa sebagai penikmat makanan didalam dunia kuliner. Tidak bisa sama sekali memasak. Sepertinya sedikit ada rasa penyesalan.
Ketika kuliah, uang bulanan kiriman orang tua spendingnya cukup banyak buat beli makanan daripada beli buku, beli pakaian atau traktir cewek sehingga kerap terjadi defisit anggaran bulanan spt halnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kita.
Skema balancing sheet sulit tercapai. Sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) hanya angan semata. Selalu terjadi minus pagu walaupun sdh dihitung matang oleh ibuku saat penyusunan Rencana Kuliah dan Anggaran (RKA).
Ibaratnya spt struktur anggaran bbrp pemerintah daerah sejak diberlakukannya otonomi. Alokasi anggaran pada akun 51 (belanja pegawai) lebih banyak daripada akun 52 (belanja barang operasional), terlebih jika dibandingkan dgn belanja modal (53).
Akibatnya tidak ada penambahan aset sehingga program pembangunan kurang berjalan dgn semestinya.
Untuk menutupi defisit, sama halnya spt sistem pengelolaan keuangan negara maka akupun berupaya: pertama, melakukan penghematan anggaran. Namun apanya yg mau dihemat wong perut anak muda hrs diisi. Kedua, mencari hibah dari pihak ketiga. Hey bung ini Jakarta..mana ada yg gratisss...
Ketiga, mencari kreditor dalam atau luar negeri utk minjem..rada malu ah kecuali minjem duit kakakku namun harus kuat menahan sabar agar biji matanya yg melotot tdk melompat keluar walaupun pada akhirnya dana soft loan yg diberikannya menjadi dana hibah.
Dan keempat, mencari sumber pendapatan baru. Kayaknya yang paling memungkinkan dan bermartabat adalah berupaya mencari sumber pendapatan baru.
Meminjam teorinya Prof. Yohanes Surya (pakar fisika kita) yg mengatakan bahwa pada suatu keadaan terpaksa atau kepepet maka akan ada resultante munculnya energi lain yg keluar dari dalam diri yg disebut dgn mestakung (semesta mendukung).
Niat yg kuat yg didukung dengan duit kiriman yg semakin menipis serta ancaman bahaya kelaparan yg mengintai, maka menjelmalah ia menjadi suatu situasi mestakung. Sebagai seorang mahasiswa di Jakarta yg tdk punya skill apapun yg bisa diandalkan utk bekerja maka otakpun berpikir.
Sebelum mencari pekerjaan di luar kampus mengapa tidak mencoba terlebih dahulu mencari potensi pendapatan di dalam kampus.
Pada masa itu, dosen yg nyambi bekerja diluaran atau pegawai yg nyambi jadi dosen (mana yg benar akupun gak tau) sering memberikan diktat ringkasan mata kuliah yg diampunya kpd mahasiswa. Dan pastinya mahasiswa akan berebutan mendapatkan salinannya.
Dapat dipastikan soal ujian semester atau tengah semester akan berasal dari diktat tsb. Tidak perlu membaca literatur lain yg disebutkan sbg referensi mempelajari suatu mata kuliah. Cukup baca diktat maka andapun selamat (sungguh nikmat kuliah dimasa itu. Apakah skrg dmkn?).
Maka semua teman2 kuliah akan memfotocopy komplit setiap lembaran diktat hingga sampulnya. Aku pun berpikir, bila terdapat demand yg tinggi namun supply nya rendah maka terciptalah potensi pasar.
Diktat hanya 1 eksemplar dan yg butuh teman sekelas maka akan terciptalah potensi pasar yg bisa menjelma menjadi potensi pendapatan (sok teu..pdhl kuliahnya bukan fak. ekonomi ).
Kebetulan saat itu rute dari rumah ke kampus melewati sederetan toko fotocopy yg menawarkan harga perlembar yg cukup murah tapi harus dlm partai besar. Maka dengan 'berbaik hati' akupun menawarkan jasa memfotocopy setiap diktat utk semua teman2ku tentunya dgn harga perlembar yg wajar sesuai harga pasar (tapi bukan partai besar).
Duitpun mengalir cukup banyak utk ukuran mahasiswa saat itu terlebih yg sdg kelaparan. Sambil menikmati makanan di warung2 kampus, aku mengucapkan terima kasih kepada dosen yg telah dengan senang hati membagikan diktat dan berdoa semoga akan membagikan diktat lagi, lagi dan lagi..
Apakah karena doa spt ini yg membuat diktat di kampus semakin banyak yg berakibat budaya literasi mahasiswa pun menjadi menurun ..? (Wallahu A'lam Bishawab).
Lesson learn dari pengalaman diri ini adalah jika anda tidak bisa memasak, tidak perlu belajar memasak tapi carilah sumber pendapatan baru...maka petualangan wisata kulinermu pun akan semakin bertambah kawan.
Dan pada hari ini, dipojok pertokoan daerah Nagoya kota Batam, untuk mengenang ritual sarapan pagi rutin dipenghujung tahun 90 an, akupun duduk muntap menikmati makanan khas Melayu yg dihidangkan oleh orang Jawa, dgn segelas minuman yg dibuat oleh orang China dan penikmatnya adalah orang Batak.
Di parkiran terlihat sekuriti orang flores yg lagi ngobrol dgn supir taksi orang Padang. Tiba2 lewatlah penjual koran yg masih berusia tanggung, aku gak tau dia suku apa. Mungkin blasteran berbagai macam suku dlm tubuhnya. Aku beli koran Batam Post utk merefresh info kekinian kota Batam.
Kota ini sangat berwarna. Masyarakatnya tidak peduli dgn hiruk pikuk ibukota. Simbiosisme ekonomi berhasil menembus sekat ke-kami-an menjadi ke-kita-an. Batam yg damai dan sejahtera milik mereka bersama.
Aku tertegun dan tiba2 suara spt upin ipin menyapaku. "Awak nak tambah minom?" tanya pelayan. Spontan aku jawab, "iye kak, tambah teh tarik satu lagi yee.
Sunggoh nekmat Mie Lendir dan Teh Tarik ini kawan. Tak cukop bile nak pesan 1 porsi....betol tak
Comments
Post a Comment